Rabu, 28 Maret 2012

PERMENKES SAINTIFIKASI JAMU: Dimana peran apoteker?


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010
TENTANG
SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS
PELAYANAN KESEHATAN
Cukup menarik dan bahkan rasa semangat untuk langsung membacanya didorong oleh keingintahuan. Bisa kita bayangkan dan harapkan dengan adanya peraturan ini akan menjadi booster bagi pengembangan herbal atau jamu untuk kemudian segera memasuki ranah kesehatan formal. Namun, dari hasil saya membaca, timbul beberapa point yang patut kita cermati bersama.

POINT 1
Dalam permenkes tersebut, pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Bila kita mencoba membuka produk-produk legislatif yang terkait dengan definisi jamu yang selama ini kita pahami, maka kita akan sampai pada Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No 23 tahun 1992. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Dapat kita pahami di sini bahwa penekanan istilah jamu adalah pada kata Indonesia yang bermakna bahwa istilah jamu digunakan oleh Bangsa Indonesia untuk membedakan obat-obat tradisional dari negara lain.

Nah, menarik bukan, mengingat istilah jamu menjadi trademark obat herbal Indonesia. Namun, pernahkah kita sadari bahwa ada salah satu negara tetangga kita yang juga menggunakan istilah jamu. Coba rekan-rekan ketik di google dengan kata kunci “jamu Malaysia”, maka akan muncul berbagai merek jamu-jamu yang ada di Malaysia dengan diikuti kata “JAMU”. Apa tanggapan rekan-rekan terhadap ini semua? Bagaimana tanggapan Ibu Menteri Kesehatan Republik Indonesia terkait penggunaan istilah jamu ini?

POINT 2
Dalam ayat 6 “Pengobatan Komplementer-Alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional.” Sepertinya istilah ini mengacu pada definisi WHO tentang CAM (complementary and alternative medicine).

POINT 3
Dalam ayat 8 masih di pasal 1 disebutkan bahwa “Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjalankan praktik .” Heran, kenapa untuk urusan seperti ini istilah apoteker tidak digunakan? Mungkin sebagian dari rekan pembaca ada protes, “Wuu, gitu aja koq dipermasalahin, mas. Itu hanya masalah istilah dan kata-kata koq.” Nah, mungkin di ayat ini nampak tidak ada masalah, tapi justru inilah awal mula tidak adanya keterlibatan apoteker di permenkes ini. Coba kita perhatikan point-point berikutnya ya.

POINT 4
“Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan.
b.    Klinik Jamu.
c.    Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T)
d.    Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM).
e.    Rumah Sakit yang ditetapkan.
Bagaimana dengan posisi universitas, dimana penelitian jamu juga banyak dilakukan.
POINT 5
Dalam pasal 8 disebutkan bahwa klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan:
a. Ketenagaan yang meliputi :
1)    Dokter sebagai penanggung jawab
2)    Asisten Apoteker.
3)    Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan.
4)    Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.
5)    Tenaga administrasi.
Nah, mungkin kita akan bertanya, dimanakah posisi apoteker? Padahal pada lanjutan ayat berikutnya ada sarana RUANG APOTEK JAMU.

Bila kita mencoba membuka PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, maka jelas bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Penjelasan berikutnya masih pada pasal yang sama menyebutkan tentang sediaan farmasi yakni sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Nah, dari peraturan pemerintah ini jelas bahwa apoteker memiliki peran penting terhadap pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusi atau penyaluranan, pengelolaan, pelayanan informasi obat, dan pengembangan sediaan farmasi, dimana obat tradisional termasuk sediaan farmasi. Oleh karena itu, sudah patut kita tanyakan mengapa apoteker tidak disebutkan dalam pasal 8 tersebut?

Selain itu, bila kita perhatikan, sebenarnya telah banyak penelitian tentang jamu terutama yang dilakukan di universitas-universitas. Namun sayangnya belum adanya basis data penelitian jamu yang komprehensif dan terintegrasi.

Oleh karena itu, terlepas dari peniadaan peran apoteker dalam permenkes ini, saya merasa bahwa apoteker masih diharapkan masyarakat untuk dapat mengambil peran dalam pengembangan jamu Indonesia.

REFERENSI
1.    Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
2.    Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang : Kesehatan
3.    Peraturan menteri kesehatan republik indonesia Nomor : 003/MENKES/PER/I/2010 Tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar